Senin, 06 Juni 2011

KEKAYAAN BAWAH LAUT INDONESIA

     Indonesia, sebuah negara kepulauan terbesar di dunia, dengan jumlah pulau melebihi 17.000 dan garis pantai lebih dari 81.000 km. Posisinya diantara Benua Asia dan Australia, serta Samudera Pasifik dan Hindia, dengan kompleksitas geologis dengan pembenturan lempeng Eurasia, Filipina, Pasifik, dan lempeng Samudera Hindia-Australia, memberikan anugerah kepada Indonesia untuk memiliki keanekaragaman hayati paling kaya di dunia. Keanekaragaman hayati yang memberikan manfaat sangat besar bagi masyarakat, diantaranya dipersembahkan oleh ekosistem mangrove, lamun, dan terumbu karang.
     Keanekaragaman hayati laut Indonesia dari segi sosial, ekonomi, dan ekologi tidak hanya besar maknanya bagi penduduk Indonesia, namun juga berperan penting dalam dimensi global. Indonesia adalah tempat ideal untuk pertumbuhan karang, dengan total terumbu karang Indonesia mencapai 85.707 persegi atau sekitar 14% luas terumbu karang dunia. Keanekaragaman hayati terumbu karang Indonesia tercermin dari 2.057 jenis ikan karang, 2500 jenis moluska, 461 jenis karang batu, serta berbagai jenis hewan dan tumbuhan laut lainnya yang mengisi kekayaan hayati laut. Kekayaan yang melimpah dari ekosistem terumbu karang saja menyajikan potensi 1.647 juta dolar Amerika per tahun, dari sektor perikanan, pariwisata, bahan baku obat-obatan dan industri, pertahanan pantai, hingga pendidikan dan penelitian.
     Namun sejalan dengan waktu, degradasi kondisi laut terus berlanjut ke tingkat parah. Hal ini ditunjukan dengan kondisi terumbu karang yang paling baik di Indonesia belum beranjak dari kisaran 6,69%. Upaya-upaya pelestarian terumbu karang dan ekosistem laut lainnya, memerlukan usaha yang lebih keras, namun juga perlu mendukung kesejahteraan rakyat dengan pemanfaatnya secara lestari. Kemiskinan terbesar berada pada masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, dimana ironisnya sumber daya alam dan potensinya seyogyanya melimpah ruah. Tingkat pendidikan yang rendah juga memperburuk kondisi tersebut. Di Kepulauan Riau, Taka Bonerate, dan Biak hampir mencapai 0% yang meneruskan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Terbatasnya akses informasi ilmiah yang mendukung pemberdayaan masyarakat, serta disorientasi pembangunan laut yang masih bersifat kedaratan, menjadi beban tambahan masyarakat miskin pesisir.
     Melalui pendidikan masyarakat; formal, non formal, maupun informal konsisten dan berkelanjutan, didukung aspek penegakan hukum, pengelolaan partisipatif oleh masyarakat, serta dukungan ilmiah dari berbagai pihak, maka pemutusan mata rantai menjadi penyebab utama degradasi sumber daya laut, menjadi hal yang sangat mungkin diwujudkan.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar